Subscribe to my full feed.

Monday, October 6, 2008

Sebaiknya Dibentuk Lembaga Tampung Keluhan Pendidikan

Diskusi Pendidikan di Suara Merdeka (1)

Sebaiknya Dibentuk Lembaga Tampung Keluhan Pendidikan

MASALAH pendidikan menjadi perbincangan menarik bagi beberapa tokoh pendidikan di Kota Pekalongan. Ini terbukti dalam diskusi yang diselenggarakan lembaga Public Are Service (PAS) bekerja sama dengan Suara Merdeka Pekalongan dan Jaringan Pendidikan Pekalongan (Japeka), Sabtu malam lalu di Pendapa Kantor Suara Merdeka. Dari 30 undangan yang disebar, ternyata yang hadir 33 orang (melebihi undangan). Ini bukti tokoh masyarakat sangat peduli terhadap pendidikan. Tokoh-tokoh yang hadir antara lain dari Dewan Pendidikan (DP), anggota DPRD, akademisi, LSM, pers, dan pemerhati pendidikan. Hasil dalam diskusi hingga dini hari itu dilaporkan wartawan Suara MerdekaTrias Purwadi dan Muhammad Burhan dalam dua tulisan mulai hari ini.

BEGITU diskusi dibuka oleh Sekretaris Dewan Pendidikan (DP) Kota Pekalongan Aris Kurniawan, semua peserta tertarik untuk menyampaikan unek-uneknya. Ini terjadi karena umpan yang dilontarkan sudah menjadi pemikiran beberapa tokoh pendidikan sejak lama. Ada dua topik yang akan dibicarakan dalam diskusi malam itu, yakni pengumuman rencana pendirian crisis centre pendidikan dan diskusi tentang pendidikan dalam perspektif keadilan. Dua topik itu juga sudah terpampang dalam spanduk yang dipasang ditembok.

Menurut pendapat Aris, rencana pendirian crisis centrependidikan itu sebenarnya sudah disampaikan secara resmi dalam rapat di DP, beberapa waktu lalu. Wajar, ada pro-kontra di dalam lembaga ini sehingga belum diputuskan pendiriannya. Namun pada prinsipnya, DP tidak melarang jika lembaga baru itu berdiri di Pekalongan.

"Untuk itulah, kami minta pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat di luar DP. Jika memungkinkan dibentuk, bisa saja dibentuk dalam rangka menampung keluhan dan aspirasi dari masyarakat," ujar Aris.

Namun sebelum peserta diskusi menyampaikan pemikirannya, tokoh muda PAS itu memberikan kesempatan pertama kepada H Manives Zubair, Ketua DP Kota Pekalongan, untuk memberikan tanggapannya.

Zubair mengemukakan, ada dua masalah pokok yang perlu mendapat perhatian, misalnya soal nama. Crisis centre itu seolah-olah pusat krisis atau pusat kesalahan. Ini menggambarkan seolah-olah pendidikan kita sudah kacau. Karena itu dia menilai, nama tersebut tidak tepat kalaupun nanti benar-benar didirikan. "Ubahlah nama itu sehingga tidak menggambarkan kekacauan," sarannya.

Kedua, mengenai pendirian lembaga crisis centre itu sendiri. Menurut pendapat dia, sebenarnya berbagai masalah pendidikan bisa disampaikan ke DP yang dia pimpin. Semua masalah bisa disampaikan ke lembaganya, mengingat lembaga bentukan pemerintah itu sudah beranggotakan berbagai elemen masyarakat, seperti akademisi, praktisi, LSM, yayasan, dan instansi pemerintah. Dengan masukan itu, DP akan bekerja memberikan solusi menyelesaikan masalahnya.

Selain itu, sekarang juga sudah ada Jaringan Pendidikan Pekalongan (Japeka) yang dipimpin Abdullah Martoloyo. Bagaimanapun kiprah Japeka perlu ditingkatkan. Karena itu, bila perlu lembaga semacam crisis centre maka perlu pertimbangan dana. Dengan lembaga baru, tentu akan memerlukan anggaran tersendiri. "Dari mana anggarannya jika itu berdiri sendiri? Mungkinkah, anggota lembaga itu mau (memberikan) iuran agar lembaganya bisa berjalan?" ujar Zubair.

Ucapan Zubair itu langsung mendapat tanggapan Abdullah Martoloyo (Japeka) dan Muhammad Lutfi dari pers. Keduanya justru mengecam keras ketidakberfungsian secara maksimal DP Kota yang sudah berdiri sejak beberapa tahun lalu. Terbukti ketika muncul masalah di berbagai sekolah, DP hanya diam saja, seolah-olah tidak mengerti dengan masalah yang ada di wilayahnya. Misalnya tentang pendaftaran siswa baru di SD Panjang Wetan I, 2, dan SD lainnya.

Dalam pendaftaran penerimaan siswa baru (PSB) di SD vaforit itu ternyata sudah tutup lebih dulu dan dinilai menyimpang dari ketentuan. Alasan sekolah menutup pendaftaran karena sudah melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sehingga sekolah berhak mengelola sekolah sendiri.

Dari kenyataan itu, DP semula berdiam diri sebelum kasusnya muncul ke permukaan. Baru setelah muncul di berbagai koran, DP menegur kepada SD tersebut.

Kasus lainnya adalah uang SPP dan uang sumbangan yang harus dibayarkan siswa setelah mereka diterima menjadi siswa baru. Beban yang diberikan kepada siswa ternyata dianggap mencekik masyarakat kelas bawah.

Sementara itu, Suryani SH MHum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pekalongan yang juga anggota DP, memaparkan kiprah DP selama ini. "DP sebenarnya juga sudah bekerja keras dalam meningkatkan pendidikan. Hanya, pembinaannya dilakukan melalui komite sekolah di Pekalongan." Selain itu, DP sudah berkali-kali memberikan masukan kepada Pemkot tetapi kurang mendapat perhatian.

Dalam setiap pertemuan dengan komite sekolah, ujar dia, sudah dianjurkan agar sekolah melaksanakan kenaikan SPP secara subsidi silang. Pihaknya juga sudah meminta komite sekolah menyerahkan rekening sekolah dan lain-lain agar sekolah transparan dalam pembiayaan proses pembelajaran. Namun pada kenyataannya, belum semua melaksanakan.

Nah, mengenai kasus-kasus yang muncul dari berbagai sekolah, dia menyatakan tidak semua dapat ditangani DP mengingat jumlah personelnya sangat terbatas. Karena itu, kalau memang diperlukan pembentukan lembaga untuk penanganan berbagai masalah di sekolah, ada peluang untuk didirikan lembaga di bawah DP. "Kita bisa kok mengembangkan divisi advokasi dan divisi lainnya dalam rangka untuk memajukan pendidikan," ujarnya.

Pendapat Suryani itu juga disetujui Aris Kurniawan dan Japeka serta peserta diskusi lain. Selanjutnya, personel-personel yang bersedia menjadi sukarelawan pendidikan dipersilakan menyatakan kesediaannya untuk kemudian dibentuk lembaga tersebut.(34j)

diambil dari link :

http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/20/pan13.htm

0 comments: